Diposkan oleh: Dhamaranthy Herdiani Marethania
Petang ini
matahari perlahan terbenam menembus cakrawala disebelah barat. Hembusan angin gersang berhembus, kicauan burung
perlahan hilang tergantikan oleh suara jangkrik yang seakan berada disebuah
pentas pertunjukan. Lamunan, itulah yang kerap kali aku lakukan. Berdiam di
kamar berhadapan dengan laptop mungilku, memasuki situs jejaring sosial yang
aku anggap itulah duniaku, facebook.
Aku melakukan banyak hal, mengupdate status,
mengunggah foto, dan yang menjadi favoritku adalah chatting.
“kaka..”
Pesan itu
tiba-tiba muncul. Entah siapa, mengingatkanku pada seseorang yang sebenarnya
telah aku lihat sejak lama. Akrab, kesan pertama yang aku dapatkan. Percakapan
antara aku dengannya semakin menarik, hingga berlanjut kedalam dunia ponsel.
Semakin hari aku berfikir bahwa aku merasa nyaman dekat dengan dia, sampai
suatu waktu aku memberanikan diri untuk mengutarakan apa yang sebenarnya aku
rasakan, dan sepertinya dia memaklumi itu.
***
Suatu saat
dia mengajak aku pergi berjalan-jalan sore untuk menikmati keramaian kota
Garut. Tapi selain itu aku tau, dia ingin bertemu denganku untuk pertama
kalinya, hahaha. “ka , jangan salting” kata pertama yang dia ucapkan untuk
pertama kalinya. Ketika aku bertemu dengan dia, perasaanku campur aduk, dari
ujung kaki sampai ujung helai rambutku menjadi beku. Dia tersenyum, dan akupun
membalasnya dengan senyuman yang kaku. Aku merasa bodohnya diri ini saat itu.
Dari saat itu juga aku tau bagaimana perasaan dia kepadaku, yaaah sama seperti
apa yang aku rasakan, jatuh cinta. Aku dan dia dekat, tapi tidak ada ikatan.
Menjalin hubungan layaknya seperti orang yang sedang pacaran, hehe.
“kalo
memang dia benar-benar cinta, pasti dia akan menunggu dan cintanya akan
bertahan lama, bahkan sampai kehidupan selanjutnya. Karena aku percaya, jodoh
itu gak akan kemana” jawaban Rendra (nama dia yang aku suka) tiap kali aku
menanyakan status hubungan kita.
Di sekolah,
ketika bertemu Rendra aku selalu kikuk membeku. Entahlah, aku merasa heran,
apakah ini yang disebut jatuh cinta. Aku
belum berpengalaman betul dalam hal ini, aku belum pernah berpacaran. Yang jelas
setiap bertemu Rendra tingkahku semakin
tidak karuan, aku tidak berani menatap matanya dan selalu berusaha memalingkan
wajah.
Sore hari,
aku merenung di kamar dengan tatapan kosong. Tiba-tiba ponselku bergetar
memperlihatkan gambar amplop dengan bertuliskan nama “koko rendra”, panggilan
sayang aku saat itu. Akupun tersenyum sendiri membaca pesan singkat itu...
In the moonlight your face it glows like a thousand
diamonds,
i suppose and your hair flows like the ocean breeze,
not a million fights could make me hate you, you’re invincible.
Yeah it’s true,
your eyes, where i find peace.
So sweet.. senyumanku semakin merekah, meskipun adakalanya
aku berusaha menghentikan senyuman itu saat orang rumah hilir mudik di depan
kamar. Seminggu lebih aku tidak bertemu dengan Rendra, aku merasakan apa yang
biasanya remaja lain rasakan, rindu. Sulit untuk aku berusaha menolak rasa
rindu itu, semakin aku berusaha melawannya semakin sakit yang aku rasakan.
***
Tak terasa
sudah tiga bulan menjalin hubungan tanpa ikatan dengan Rendra. Susah, senang,
sedih, gembira, dan semua hal aku jalani bersamanya. Kadang kali didalam hati
kecilku timbul pertanyaan, sampai hari ini status hubungan kita apa? Hubungan
tanpa status? Tanpa ikatan? Tapi aku selalu berusaha menerima karena aku tau
jawabannya hanya satu, kami belum siap untuk menjalin hubungan dengan ikatan.
Dengan status tanpa ikatan, cobaan silih berganti menguji seberapa kokohnya
hubungan yang aku dan Rendra jalani. Salah satunya yang masih aku ingat ialah
ketika banyak orang yang menentang hubungan kami.
Ketika di
sekolah bel berbunyi, menandakan waktu istirahat.
“Nia, kamu
sedang dekat dengan Rendra yah?” tanya seorang perempuan dengan tatapan sinis.
“hmmm..
iya” jawabku ragu dengan berusaha untuk tersenyum kepadanya.
Namun dia
hanya tersenyum dengan tatapan sinis seolah merendahkanku. Aku mencoba meredam
kekesalanku, dan beranjak pergi. Aku tau betul, dia sebenarnya tidak menerima
jika aku mempunyai hubungan dengan Rendra. Di sekolah, aku kerap kali merasa
tidak bebas dan tidak merasa nyaman. Itu karena banyak sekali siswi perempuan
di sekolahku yang sepertinya menyukai Rendra, ibaratkan fans.
Tiba
saatnya suatu hari dibulan April akhirnya kami memutuskan untuk memiliki ikatan, berpacaran. Hari itu terasa tidak
begitu istimewa karena memang aku dan Rendra sudah lama dekat layaknya orang
yang sedang berpacaran. Tetapi ada sedikit perbedaan didalam hubungan kami kali
ini, aku merasakan bahwa dia memberikan perhatian yang lebih. Setiap pagi saat
aku terbangun dari tidurku, selalu ada pesan Rendra mengucapkan selamat pagi
atau mengingatkanku untuk sarapan. Aku
senang, aku merasa beruntung memiliki Rendra. Dia selalu ada kapanpun ketika
aku membutuhkan bantuan, memarahiku ketika aku berbuat kesalahan, dan
menyayangiku ketika aku merasa kesepian.
Tidak teras
hari kelulusanpun tiba, aku mendapatkan amplop besar yang didalamnya terdapat
kertas kelulusan. Tenyata aku lulus, aku sangat bahagia ketika itu. Ponselku
berbunyi, ternyata Rendra mengucapkan selamat atas kelulusanku.
Sebulan
kemudian aku mulai belajar di Universitas Brawijaya, Malang. Cukup jauh, tapi
ini semua demi menggapai cita-citaku. Hubungan aku dengan Rendra masih tetap
berjalan meskipun long distance relationship.Rendra
sering menjengukku di Malang untuk melepas rasa rindu yang berkepanjangan. Begitupula
sebaliknya ketika aku pulang ke Garut, aku selalu meluangkan waktu untuk
bertemu dan berjalan-jalan bersama Rendra.
***
Lima tahun
berlalu, aku lulus dengan mendapatkan gelar sarjana, begitupun dengan Rendra.
Hubungan kami sudah berjalan lama, sejak duduk di bangku SMA. Terdengar kabar
bahwa Rendra mendapatkan tawaran pekerjaan di Jepang, dan sepertinya dia
antusias untuk menerima pekerjaan itu. Dia menceritakan semuanya kepadaku, dia
terlihat senang dan akupun mendukung keputusannya. Dia berpesan kepadaku untuk
tidak mengkhawatirkannya, disana dia akan selalu berusaha menjaga komunikasi
denganku.
Hingga
sudah saatnya Rendra pergi, akupun mengantarkannya sampai ke bandara. Ketika
akan berpisah aku tidak bisa untuk tidak menangis, air mataku jatuh dengan
sendirinya. Rendra berusaha untuk menenangkanku dan akhirnya dia mencium
keningku, ciuman perpisahan.
Selepas kepergian
Rendra ke Jepang aku menjalankan aktivitasku seperti biasanya, bekerja di
sebuah rumah sakit di Bandung. Aku sangat senang dengan pekerjaanku ini,
menjadi seorang dokter gigi. Setiap hari aku melayani pasien-pasienku, dari mulai anak kecil hingga orang tua.
Mengenal orang-orang baru setiap hari, itu sangat menyenangkan.
Ponselku
berdering bertanda telepon masuk, Rendra.
“Nia, lagi
apa? Gimana keadaannya baik kan? Aku kangen. Disini aku benar-benar bekerja
keras, aku ingin cepat pulang ke Indonesia. Berjalan-jalan sore bersama Nia
lagi, waaaah.. pasti senang” ucap Rendra.
“haha kamu
ini, aku sampai tidak diberi kesempatan untuk berbicara. Aku disini baik,
senang bertemu orang-orang baru. Aku juga kangen, lebih kangen mungkin” jawabku
tersenyum bahagia.
“iya maaf,
hehe.. kangen ini membuat aku sakit, ingin terus bertemu dengan Nia. Oh iya ada
kabar gembira, seminggu ini perusahaan memberi waktu liburan. Tapi aku tidak
bisa pulang, kamu mau kesini Nia? Menghabiskan waktu liburan bersama Nia. Disini
sedang musim semi, kita bisa jalan-jalan melihat sakura yang berguguran.” ajak
rendra bersemangat.
“aku mau”
jawabku spontan.
Dengan
begitu aku bisa bertemu dengan Rendra, dan melihat bunga sakura berguguran. Itu
adalah keinginanku sejak SMA “pergi bersama seseorang yang aku sayangi ke
Jepang, melihat indahnya sakura di musim semi” cita-cita masa kecilku.
***
Akupun tiba
di Jepang, Rendra menjemputku di bandara. Kami bergegas mencari hotel untuk aku
melepas lelah.
Keesokan
harinya, Rendra membangunkanku dan kami pergi untuk berjalan-jalan. Rendra
mengajak aku pergi ke Kema Sakuranomiya Koen, di Osaka. Disana sangat banyak
sekali bunga sakura bermekaran, dan ketika itu tepat dalam perayaan pesta
Hanami. Banyak sekali penduduk jepang yang berpesta disana, kata Rendra disana
adalah tempat terfavorit untuk bisa melihat bunga sakura yang akan berguguran.
Aku benar-benar senang, disana aku melihat bunga sakura yang indah dan sesekali
aku menatap Rendra, dia membuat aku merasa nyaman berada didekatnya. Dia
menyadari hal itu, dan dia hanya tersenyum kecil. Rendra mengajakku duduk
dibawah pohon sakura yang sangat besar, bunga sakura jatuh berguguran dari
pohon besar itu.
“Nia
senang?” tanya Rendra sembari menatap mataku.
Entah apa
ini, tiba-tiba aku merasakan jantung berdetak lebih cepat. Padahal ini bukanlah
pertama kalinya dia menatap mataku. Udara terasa sulit untuk aku hirup, dada
ini sesak. Mungkin ini karena sudah dua tahun kami tidak bertemu.
“iya aku
senang Ren, sangat senang” jawabku gugup dengan berusaha tidak menatapnya.
“Nia...”
ucap Rendra lembut, mengalihkan wajahku untuk melihatnya.
Aku hanya
diam, dan tersenyum kecil.
“syukurlah
kalo Nia senang. Aku juga senang karena Nia mau menemani di waktu liburanku”
Rendra tersenyum lebar sambil memainkan bunga sakura ditangannya.
“iya terima
kasih juga ya Ren, aku merasa telah
menjadi wanita yang paling beruntung setelah mengenal kamu” jawabku pelan.
“Nia, aku
sayang kamu. Kamu membuatku lebih mengerti apa itu kasih sayang, dan apa itu
cinta. Apakah kamu mau menjadi ibu untuk anak-anakku kelak? Apakah kamu mau
menikah denganku?”
Mendengar
kata-kata itu, perasaanku tak tentu arah. Kaki ini lemas, air mataku sepertinya
ingin menetes. Entah air mata bahagia atau air mata kesedihan, aku hanya diam
terpaku. Dia yang selama ini menjadi orang yang aku sayangi menginginkan aku
untuk menjadi pendamping hidupnya. Dia yang pertama mengenalkanku tentang
cinta, ingin menjadi yang terakhir untukku. Aku hanya bisa berkata “iya, aku
mau”, you are my first and my last.